Home | Vol 17 Table of Contents | Previous Issues | Contact Us: 07 55278753 / 0405463663 | Email: judybyronbay@yahoo.com

PELUNCURAN BUKU SASTRA
JUDUL

Bercakap CAKAP DI BAWAH GUGURAN DAUN DAUN

KARYA : Frans Nadjira

PENERBIT : MATAMERABOOK

ACARA PELUNCURAN : MINGGU, 7 Maret 2004

TEMPAT : DANES ART VERANDA

Jl. Hayam Wuruk 159 Denpasar

WAKTU : Pukul 19.00 Wita

MATA ACARA : Pemutaran Film Dokumenter TENTANG Frans Nadjira

Pembacaan Cerpen Frans Nadjira olEH COK SAWITRI & LANDUNG SIMATUPANG

Penyerahan Buku Kepada Perpustakaan

Penjualan Perdana

TENTANG FRANS NADJIRA

FRANS NADJIRA, penyair, cerpenis, pelukis ini lahir di Makassar, sebuah kota pelabuhan yang cukup ramai pada tanggal 3 September 1942. Pada dasawarsa enam puluhan Frans bergiat pada kalangan sastra dan seni di Jakarta. Lukisannya dipamerkan pertama kali di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1970. Pada tahun 1974 pindah ke Denpasar, mulai menggarap gaya lukisan “psikografi” sekaligus melakukan berbagai kegiatan pengembangan sastra di Bali. Tahun 1979 mengikuti International Writing Program di University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat.

Karya-karyanya dimuat pada banyak media seperti Horison, Sinar Harapan, Berita Buana, Kesenian, Zaman, Bali Post, AIA News (Australia), Muriara, CAK dan lain-lain. Juga dalam antologi Terminal Laut Biru Langit Biru, Puisi ASEAN, The Spirit That Moves Us (USA), Tonggak, On Foreign Shores, Ketika Kata Ketika Warna, Teh Ginseng, A Bonsai’s Morning, Springs of Fire Springs of Tears, Horison Sastra Indonesia, Jendela Jadikan Sajak dan beberapa buku apresiasi sastra Indonesia.

Pengantar Penerbit

Cerita pendek -sebagaimana halnya puisi, prosa, atau karya sastra yang lain-adalah sebuah artefak yang menandai sebuah peradaban. Apalagi jika karya itu menjejakkan kesan mendalam bagi pembacanya atau bahkan mampu mengubah cara pandang seseorang, meskipun dalam beberapa kurun cerpen masih sebatas mengungkap realitas sosial tanpa bisa berbuat apa-apa untuk mengubahnya.

Kumpulan cerita pendek karya Frans Nadjira dianggap mewakili pandangan Matamerabook terhadap persoalan-persoalan keseharian yang digali dari lingkungan paling dekat dengan kita. Pada masa kini, saat manusia dibebani dengan berbagai aktivitas yang bersifat duniawi, santapan batiniah perlu dihadirkan dalam suatu kemasan yang menerbitkan selera. Sangat wajar jika kami memimpikan untuk membukukan karya Frans Nadjira.

Sebelumnya, pada 1990-an Matamerabook telah menerbitkan Springs of Fire Spring of Tears, antologi puisi Frans Nadjira, yang senafas dengan cerpen-cerpennya yang asosiatif dan filosofis. Keistimewaan Frans sebagai penyair, cerpenis dan pelukis, telah menyumbangkan ruang luas bagi khalayak untuk melakukan apresiasi seni. Apalagi sejak 1970-an, ketika memutuskan tinggal di Bali, campur tangan Frans banyak mewarnai aktivitas seni dan mencambuk penulis muda untuk ikut menandai zamannya.

Dalam proses memohon penerbitan ini kepada Frans, sebelumnya dalam beberapa perbincangan Ia menyiratkan tak membutuhkan ‘pembukuan’ semacam ini. Baginya melahirkan cerpen telah cukup, apalagi pemuatan di berbagai media telah sampai kepada pembacanya. Setelah melalui beberapa pendekatan, sungguh diluar dugaan karena akhirnya Frans bersedia jika hal itu bisa menumbuhkan idealisme kami sebagai obligasi moral bagi usaha yang kami rintis sejak 1991 silam. Sesungguhnya tidak hanya itu, Matamerabook juga berupaya membagi mutiara sastra Indonesia, dimana Frans Nadjira adalah salah satu yang terbaik yang dimiliki oleh Indonesia.

Frans akhirnya menyiapkan seluruh transkrip cerpennya yang pernah dimuat media massa seperti Horison, Kalam, Kompas, Sinar Harapan, dan lain-lain. Bahkan secara khusus menulis cerita pendek baru dengan nafas yang teratur, ritme yang tetap terjaga, dan gagasan yang tak lapuk oleh masa. Sayang sekali, dia tidak mau menuliskan penanggalan pada akhir setiap tulisan, dengan maksud agar penulis tak terganggu tahun penulisan itu dan agar benang merah hakikat dari setiap cerpen bisa tenang mengalir.

Pada bagian akhir, sahabat Arif Bagus Prasetyo, penulis esei yang sangat serius, mendedahkan hikmah, esensi, dan sesuatu yang tersembunyi di balik cerpen-cerpen dalam buku ini. Tulisannya berasa sekali memberikan bumbu penyedap yang menambah keyakinan kami akan kelezatan sajian spiritual ini

Karena kata cuma milikku/ kujenguk kau dengan kata (nukilan puisi Selamat Jalan I Gusti Nyoman Lempad, karya Frans Nadjira). Selamat membaca!

Denpasar, 2004

Matamerabook

Salahsatu Cerpen dalam buku Frans Nadjira:

BERCAKAP-CAKAP DI BAWAH GUGURAN DAUN-DAUN

SEKALI waktu seseorang ingin kembali ke masa kanak-kanaknya. Bermain di dalam hujan dan keluar dari kerepotan hidup sehari-hari.

Sahabatku, seorang pelukis yang punya wawasan puisi dalam karya-karyanya, berlari-lari memandang ke bintang -bintang malam hari di sebuah taman sambil bercakap-cakap tentang soal-soal kesenian. Atau tentang adanya kenyataan yang paling sulit diterima, datangnya saat kematian. Yang dilewati manusia secara bergiliran seperti melewati tiang-tiang kilometer dalam satu perjalanan. Kemudian menari dan melompat-lompat dengan girang sambil menangkapi daun-daun yang gugur. Lihat, angin melucuti dedaunan dan awan hitam yang bergerak seperti berderak di atas menara gereja tua itu.

Kehidupan yang polos. Seperti yang pernah kami lakukan berbaring di rerumputan dikelilingi anak-anak yang barangkali menganggap kami korban kecelakaan.

Atau tentang kehidupan di kota-kota besar dimana manusia telah menjadi asing satu sama lain. Hidup menjadi jarak-jarak tak tercapai. Bisa saja seorang tetangga memeriahkan ulang tahun anaknya yang bungsu sedang saat itu di rumah sebelahnya sedang terbaring satu tubuh manusia yang dingin dalam balutan kain batik. Karena kematian bukan lagi peristiwa yang menyentuh.

Sambil memegang selembar daun kering yang berhasil kutangkap, aku bertanya adakah daun yang di tanganku itu masih dapat kusebut daun. Dan lantas bagaimanakah hubungan antara angin yang pernah menafasinya dengan angin yang kemudian merontokkannya. Dan kalau dedaunan adalah manusia, selembar di antaranya bisa saja aku. Dan kalau kemudian giliranku gugur, siapakah angin siapakah aku.

Sulit kumengerti untuk apa manusia lahir ke dunia. Apakah benar untuk melanjutkan keturunan keluarga? Adakah itu dapat kupercaya? Barangkali seorang ayah hanya ingin mengendorkan ketegangan-ketegangan sarafnya lantas lahirlah manusia sebagai buahnya. Lalu lahirlah dia ke dunia untuk mewarisi ketidaktentuan hidup dan giliran kematian pada suatu saat.

Telah banyak kusaksikan sahabat -sahabat yang murung. Mengirimkan iklan duka-cita, menulis memori dan mengirimkan karangan bunga bercat warna perak. Iring - iringan ratap

keluarga seperti mendung sepanjang tahun yang menyertai pemakaman. Telah banyak kudengar penyebab kematian. Tersebar wabah, turun lahar dari pucuk-pucuk gunung, putus asa, kecelakaan, atau terbakar perang dengan saudara sekandung sesama manusia.

Yang melegakan hati bahwa dalam mengisi hidup ini manusia dapat memberi nilai pada dirinya. Barangkali dalam menjalani hidup yang penuh rahasia ini manusia dapat bermanfaat bagi manusia lain sedapat ia mampu. Lalu kemudian pada suatu malam di kamarnya dia menyambut seorang tamu. Yang datang tanpa sandal yang datang tanpa lelah. Kemudian dengan pasrah dia berkata:

Masuk, seperti kau lihat aku sendiri.. Ambil sendiri kursi, sahabat. ( Ya, kusebut kau sahabat sebab bagaimana aku dapat memusuhimu.) Setelah kau singgahi beberapa rumah, aku mengerti giliranku saat ini. Kemudian dia memadamkan cahaya lampunya perlahan-lahan.

Suara guruh menyertai guguran daun-daun. Dan sahabatku masih saja menari-nari dengan girang menangkapi daun-daun bermain dalam hujan.

Home | Vol 17 Table of Contents | Previous Issues