Home | Vol 18 Table of Contents | Previous Issues | Contact Us: 07 55278753 / 0405463663 | Email: judybyronbay@yahoo.com

Komunitas Teater di Bandung
Oleh Arahman Ali

Bandung dan teater merupakan pasangan yang kerap diperbincangkan di lingkung seni Indonesia. Bandung dikenal dengan kelompok-kelompok (baca: komunitas) teaternya yang konsisten dalam produksi pertunjukan, kualitas aktor dan keahlian sutradaranya. Kritikus teater Indonesia paling berwibawa pun berasal dan tinggal di
Bandung, yakni Jakob Sumardjo dan Saini KM.

Sejak berdirinya Studiklub Teater Bandung (STB), di tahun 1950-an, teater modern menjadi ciri khas kota. STB dimotori oleh Jim Adilimas dan Suyatna Anirun. Walau dengan penonton yang itu-itu juga, kelompok-kelompok teater berpentas tanpa lelah. Seolah teater adalah takdir hidup. Pelaku-pelaku teater yang dilahirkan atau dipengaruhi STB perlahan-lahan membentuk kelompok sendiri, tercatat di antaranya: Laskar Panggung, Kelompok Payung Hitam (KPH), Teater Re-Publik, Teater Kupu-kupu Perak, Teater Kape, Teater Bel, Actor's Unlimited, Teater Dikari, Creamer Box, Bandoengmooij dan MainTeater. Teater yang tumbuh berkembang di Bandung bukan turunan dari teater rakyat dan teater tradisi. Tapi teater modern yang membaca diri pada teater yang berkembang di Inggris, Jerman, Perancis, Rusia dan Amerika Serikat. Hal ini dapat dilihat dengan lakon yang dipilih, yang merupakan terjemahan dan saduran dari dramawan negara-negara tersebut. Beberapa eksperimen yang memadukan teater modern dan teater rakyat, seperti Longser dan Sandiwara di tahun 1990-an, terhenti di tengah jalan. Setelah eksperimen beberapa kali, kelompok-kelompok teater di Bandung kembali ke lakon terjemahan saduran.

Ciri khas kedua, yakni kesetiaan dengan panggung. Sebuah garapan lebih tertuju pada permainan aktor, kepintaran sutradara dan keahlian penata artistik. Berbeda dengan kelompok teater yang berkembang di Yogyakarta dan Jakarta. Dua kota ini mengutamakan kontekstualistas tema garapan tinimbang kehebatan teknik. Malah untuk kelompok teater dari Yogyakarta perlu sebuah diskusi untuk menjelaskan apa sebenarnya yang ingin disampaikan lewat teater. Pelaku-pelaku teater yang konsisten aktif, yakni Jim Adilimas, Suyatna Anirun (alm.), dan Mohamad Sunjaya. Generasi kedua tercatat Rachman Sabur, Benny Johannes, Adang Ismet, Yoyo C. Durachman. Generasi kedua ini muncul tahun 1980-an, dimana teater sedang membangun penonton dan bergelut dengan eksperimen teater tradisi-teater modern. Sedang generasi ketiga termuat didalamnya Iman Soleh, Wawan Sofwan, Tony Broer, Rosyid E. Abby, Yosef Muldiyana, Yesmil Anwar, Agus Safari dan ING. Arya Sanjaya. Ini merupakan generasi yang merajai pentas teater di tahun 1990-an dan awal 2000-an. Lebih banyak terpengaruh oleh lakon, teori dan peristiwa teater luar negeri. Karya karya generasi ini telah dipentaskan di dalam dan luar negeri. Iman Soleh bercermin pada teater Perancis, Wawan Sofwan pada teater Australia dan Jerman, sedang Tony Broer pada teater Jepang. Generasi terbaru, yakni generasi keempat yang muncul menjelang Gerakan Reformasi, terdapat Hermana HMT, Ayi Kurnia, Uep Marungkut, Tatang Macan, Alit Wrachma, Tatang Pahat, Otong Durahim dan Edi Sutardi. Generasi ini lebih peduli terhadap perkembangan sosial-politik yang berlangsung di Indonesia. Kontekstualitas pertunjukan menjadi acuan disamping kemampuan berteater. Namun pengaruh dari generasi pertama masih melekat ketika melakukan penyutradaraan, keaktoran, dan penataan artistik.

Untuk pengamat dan peneliti teater tercatat Arthur S. Nalan, Ipit S. Dimyati, Fathul A. Husein, dan Asep Budiman. Seiring dengan krisis ekonomi, yang berakibat pada semakin berkurangnya sponsor, donatur dan penonton, kuantitas produksi teater ensambel mulai menurun digantikan dengan pementasan-pementasan monolog. Monolog menjadi solusi untuk terus berekspresi di tengah gejolak ekonomi yang tak pasti.

Ketika kelompok teater di Bali, Medan, Padang, Makasar, Surabaya maupun Jakarta terhenti memproduksi pertunjukan, kelompok teater di Bandung tetap konsisten menggarap lakon-lakon asing. Seolah pelaku teater memilih seribu nafas untuk terus melanjutkan eksperimen dan ekspresinya, walau ekonomi kadang-kadang menjadi penghalang utama dalam garapan lakon. Teater adalah jiwa kota Bandung yang terus-menerus bermetamorfosis, entah ke ujud apa dan entah sampai kapan. Yang pasti, hingga kini kelompok-kelompok teater di Bandung masih bersiap, sedang dan akan memproduksi lakon-lakon teater, yang dipersembahkan untuk teater itu sendiri dan kota Bandung.

Arahman Ali, aktif di Center for Art Studies, Bandung. Penggemar Uut Permatasari, Linkin' Park dan Rage Agains the Machine.

Sumber: Rubrik Senandika, Radar Bandung.
Sent in By kerensa Dewantoro kerensadewantoro@cbn.net.id

Home | Vol 18 Table of Contents | Previous Issues