Home | Vol 18 Table of Contents | Previous Issues | Contact Us: 07 55278753 / 0405463663 | Email: judybyronbay@yahoo.com

Kumpulan Puisi

oetry of Indra Tjahyadi

Sajak-sajak: Indra Tjahyadi KELELAHANKU YANG AJAIB Kelelahanku yang ajaib membekukan
bisikan rumput. Museum-museum musim hujan
menyembunyikan mayat-mayat tikus. Seperti kesumat
yang memutihkan pohon-pohon di ujung kampung,
aku meratap, malam hermafrodit, mengkhianati
bayanganku. Renjana turun bersama salju. Gerhana
gerhana berlintasan memamerkan hantu-hantu.


Segera aku panggil Tuhan, tapi bulan
terus berjatuhan di rambutku. Angin berbalik arah,
menjadi peluru yang mengkilaukan tetesan-tetesan embun.
Aku melankoli seketika, memuja-muja pelacur,
menjelma serakan daun, berkeringan di telapak kakimu.
Seperti sumur-sumur kerinduan yang teramat dalam,
arwahku menghidupkan ilusi belatung kupu-kupu.
Aku berfantasi dengan lindu! Jemariku bermain-main
dengan puting yang kau sembunyikan di sebalik kutangmu.


Tulang-tulang badai menggemeretakkan
jiwaku. Kelak aku akan pergi darimu, seperti mercusuar
yang bercahaya di tengah laut. Kutahu inilah
kebahagiaan terakhir yang tak bakal aku kenang
dari kurus pipimu! Aku kini tinggal pemabuk.
Seratus kelelawar mati busuk! Serdadu-serdadu
mengayunkan batu. Berjalan sempoyongan memanggil
manggil teluh.


2003.



KEMARAU DIAM



Kemarau diam di jiwaku. Serangkai
bayang-bayang randu tumbang, bersiadzan
dengan pilu. Pahamilah bagaimana mataku rabun,
jumpalitan, begitu cemburu. Aku susuri ketiakmu,
tapi rupanya jalanan makin malam, meski aku
telah tinggalkan dirimu. Sepanjang keriuhan kelu,
mayatku terpencil. Ingus para pejalan bergayutan
di jenggotku.


Seluruh kesumat dan derita memacu
pengetahuanku. Arwahku memanggil namamu,
sementara panorama lebur, selangkah demi selangkah
memudar, menjejali batu. Di dasar pijaran kabut,
aku adalah jenazah bagi setiap hasrat dan kesintalanmu.
Kegembiraanku mengintip tato kupu-kupu di pusarmu.
Malam makin dingin, mendzikirkan diamku.
Penampakan-penampakanku gaib, samun, mencair
hitam bersama salju.
Karena bunga-bunga gugur adalah sihir
yang menghidupkan bangkai-bangkai, juga sajak-sajakku.
Demikianlah dingin meledak bersama shalatku.
Pohon-pohon yang rabun dalam gerimis kabur bersama
gemuruh. Aku wudlu matahari,
meniupkan terompet seribu tahun.
Di hari-hari pagi talkin seratus gerhana menafasiku.
Dunia kelak hanya kelam yang mempasakkan
gaung-gaung. Halimun menghirup mayat-mayat
rumput. Aku kini pelangi. Peneguh riwayat ketelanjangan
letusan-letusan peluru.


2003.


TALKIN SERATUS GERHANA


Bisikan talkin seratus gerhana
menyabitkan gema. Arwahku yang terpacak sungsang
di antara puncak-puncak pepohonan dihirup hujan.
Semacam akhir pelangi, takdirku memencil.
Hari-hari lewat meneguhkan ketelanjangan.
Aku pungut rumput, tapi arwahku lebih murung
daripada bayangan.Sebagai kenangan, kertap-kertap
lumpur menghalau cuaca. Puting putihmu bersigasing
antara musim dan kutukan.
Maka kulepas kutangmu, seperti belukar
sayatan pada perdu. Surabaya lembab-samun,
menjadi awal bagi segala pemberontakan dan bisu
Jalan-jalan diteguhkan pelacur,
tapi kesepianku memanjang, muram
menuju kematianku. Aku kilaukan tandan
belulang taifun. Demi selongsong peluru
Bisikan-bisikanku kabur bersigaung pada batu


Tapi pahamilah bagaimana kekosonganku
berlutut, saling menghisap mulut. Segenap rasa sakit
di atap-atap gedung dibakar perusuh. Demikianlah
kelaminku sontak menggembung, memimpikan
derita jenazah-jenazah pemulung. Bahkan apabila bibirku
mencucupi susumu. Sedang mayat-mayatku mabuk
dalam seratus kesumat mengkaparkan tahun-tahun.
Kecabulanku menghidupkan patung-patung pembunuh.
Lenganku makin pipih, menyabitkan rerumput.


2003.


ANGIN DARATAN



Angin daratan meliuk. Bagai burung,
rambut panjangmu tergelung,
menyoraki kabut. Aku memencil serupa tikus.
Bayang-bayangku memudar, diumpati tahun.
Asap gerhana mengepul. Arwahku lari telanjang
menghijaukan daun. Musim-musim tandus.
Sekarat! Susut sepanjang kerak retak lumpur.


Melebihi maut, tapi katakanlah bagaimana
kau cantik, sedang seratus bulan karam
menyiuli nadiku. Keringatku murung. Di ujung pelangi,
darahku kering, bersitetes dengan gema menyerupai guntur.
Dengarlah reqium-requim tatapanku, meski
malam tahajud dan kelam tak juga limbur.
Gedung-gedung dibangun dan runtuh. Seluruh kenangan
dan cumbu bersembunyi di balik celana dalammu.
Aku kini hantu. Puasa dengan jidat tertembus peluru.


Bunga-bunga hanya kutuk, tapi lanskap
seratus kematian ungu. Waktu!
Bangkai-bangkai kelelawar berpekikkan sepanjang gorong
kerongkonganku. Kelak di daerah perbatasan
yang tak dikenal aku memperkosamu. Kaki-kaki
patah arwahku menancapkan cakar-cakarnya yang busuk
di pusat pusar mendung. Segera aku mabuk. Orgasme
tanpa peju. Betapa belatungku hancur. Fantasiku
angus-lebus. Memulai segenap kisah pertempuran
dan derita masa lalu.


2003.



BERBISIK DI DALAM BAYANGAN



Aku berbisik di dalam bayangan.
Tangan-tangan arwah ingatanku yang kurus
menjulurkan kegelapan. Dingin pecah,
meleler di selangkangan cuaca. Rumput-rumput
merintih, tapi payudara-payudara gerimis yang buntal
menopang kelam. Masa lalu mendetakkan gempa.
Kota-kota terbakar. Melengangkan jalanan.


Sisa-sisa keringat jamur yang kuyup,
mengharumkan ajal. Gagak-gagak langit cerlang
berjatuhan, menyiulkan ode hitam seratus pertempuran.
Kesunyianku menemukanmu seolah selokan-selokan
kampung yang gasang. Segera aku onani dengan kelamin
tersayat. Pengetahuanku berkhianat pada bulan.
Meditasi kupu-kupu selepas senja memanggil taufan.
Lintang lapar dikacaukan khayalan. Mayatku sungsang,
mengangkat martil, mengayunkan kekosongan.


2003.



MILLENIUM SERATUS KEMATIAN



Dari rumpun daun yang mengering,
kristal tangisku yang memudar menciumu
telapak tanganmu. Sepanjang trowongan gerimis
yang jauh, kawah-kawah kesunyian mendidih,
menjelma benua, menghidupkan deru guntur.
Seperti pemabuk, aku hakimi tidurmu.
Arwahku sungsang, mencuri anggur
yang kau sembunyikan di jurang rambutmu.
Seluruh gairah dan derita menuangi gelas-gelas
cawan kerinduanku. Tangis jalan-jalan memecah!
Wujud-wujud kejahatan mengetuki jiwaku.


Jejak-jejak semut mengabur di dinding
dinding lembab kampung. Ingatan rasa sakit
yang dikhusyukan taifun merengkuh ikrar-ikrar liar,
membangkitkan jenazah-jenazah hantu. Seteguk
menara kubangun di tengah laut persis halus
pipimu. Ada yang tumpas, meski di malam-malam
tak berbatas bulan hilang lekas. Diam pasir-pasir getas,
seluruh keperihan meledak-lepas! Bahkan ketika
kutemukan tiang lehermu yang jenjang, sementara
dari masa lalu kusaksikan bagaimana bayang-bayangku
raib, menyerah pada kilat millenium seratus kematian.


2003.



SUREALITA TAHUN-TAHUN



Aku runtuh bersama bayangan.
Dengan cahaya bulan Desember yang ungu,
pikiranku yang hidup
tanpa ujud menampung
derita lindu. Seperti perunggu,
waktu jadi retak, dan aku terapung-limbung
antara ledakan dan yatim rambutmu.
Menjadi retakan, aku sisipkan seteguk
keindahan dari keterpencilan
yang menyingkap semua rahasia
bunuh diri di tempikmu. Hujan melukaiku
dengan segenap keajaiban dan kutuk. Daun-daun
jatuh, terperangkap antara fantasi dan lumpur.


Renjana awan kelabu membungkus
para pejalan, mengembalikan kesia-siaan, juga gelap
jiwaku. Di sebalik gerimis,
sunyi yang menggeram
telah selesai kutafsirkan sebagai sepotong sajak,
tapi betapa labirin pipimu yang remaja
demikian halus, senantiasa
memberikan percikan pada pilu.
Seolah ingatan yang kerap tertinggal
antara sejarah dan selangkang pelacur, aku kenang
bau mulutmu, ruhku meluncur-samun di sela-sela guntur.
Ini enigma, meski kualami perubahan musim
melebihi kejahatan yang menyala di bawah mendung.
Sungai-sungai mengawali seluruh kisah dan keruh.
“O kulihat ledakan-ledakan di dasar kabut!”
Seribu milenium mayatku hitam, murung,
mengkhayalkan bulan dan gemeretak zakar
surealita tahun-tahun.


2003.



SIULAN HITAM RAUT KEMATIAN



Tangan-tangan ingatanku kurus,
menjulur ke dasar waktu. Semalaman angin
yang sedih beku, arwah burung-burung
melayang, melukai tatapanku. Seperti parang
di tangan perusuh, aku begitu menderita, seluruh
pengetahuan membusuk dalam paru-paruku.
Aku bugil, seluruh kejahatan menggayuti pelirku.
Seteguk kekosongan memekik, menyayat urat nadiku.


Kupu-kupu geludhuk mengurai luka
dan kejalanganku. Fantasi-fantasi ranjang terlaknat
mencambukkan narasi seratus ektase perdu.
Aku berlindung di dasar gema, sejarah dan maut
karam, berledakan lewat sajak-sajakku. Syahwatku
samun, menjelma ode patung-patung runtuh di tengah
kabut. Sihir singup taifun mendentam, menjelma kecupan
kecupan hijau yang diharamkan Tuhan pada batu.


Di dasar timbunan salju, dongeng
dongeng kegamangan yang tak terpahamkan
senantiasa mengubur nostalgia abad kunang-kunang
di puncak mataku. Seketika aku berilusi
dengan lindu, rasa ngeri membangun kubah
kubah marmar bunga-bunga dari ciuman dan kutuk.
Aku kini rasul, seluruh kebisuan adalah takdirku.
Kelak kutinggalkan Sorga, meski kiamat sesat, tegak
di jalan nafasku. Kegelapan begitu kekal, membesatkan
siulan-siulan hitam raut kematianku.


1999-2004.


NAFAS HUJAN



Nafas hujan yang gemetar
menyentuh lenganku. Kesepian cuaca
yang berlari menghidupkan patung
patung sepanjang jantungku. Sungai-sungai
kabut menyentuh kaki-kaki para pembuat
peta, menyimpan sebentuk perahu.
Seperti hari-hari percintaan yang kelak
jadi abu, seluruh rasa sakit mengimpikan
malaikat-malaikat purba berterbangan dalam
taifun. Tatapan-tatapan buta cecurut berjuntaian
di antara kegelapan dan guntur.

Jalan-jalan senyap laut meluap,
membesatkan nafsu. Seekor kunang-kunang
melayang di dataran bulan dan hancur.
Keperihan membisikkan kata-kata baru,
menciptakan labirin kebisuan dan
dentum. Aku serap dongeng-dongeng
retakan tanah, wujud-wujud keremajaan
pelacur memasuki daerah-daerah terlarang
yang didengungkan embun. Aku memekik.
Percumbuan-percumbuan kupu-kupu mengaburkan
seratus mata belatung.


Seluruh teror membangun kubah
kubah samun musim hujan, tapi seteguk
kesengsaraan bulan yang jernih menyayat urat
syarafku. Kesunyian terjaga dari setiap tidur,
iman benda-benda dan pengkhianatan
bertumpuk. Aku rasakan kesunyian,
pengetahuanku raib, menjelma sobekan
sobekan daun. Kerinduan adalah sukma-sukma
muram iklim yang menanti pembunuhan keduanya
serupa waktu. Bertahun-tahun dalam lubuk
cerlang bintang, keterasinganku mencuri roh
burung-burung. Berabad-abad siulan-siulan kilat
meledak, meneguhkan seratus shalat shalawat ajalku.

1999-2004.



KESEPIAN MEMEKIK



Kesepian memekik dalam tidurku.
Topeng-topeng tua dari simbol-simbol gaib
yang runtuh menjelma ular, mengalun
sepanjang pernafasanku. Aku ikuti
nyanyian-nyanyian angsa. Srigala-srigala
liar mengerang. Udara penuh karat mencium
hidungku. Berabad-abad kesendirian hitam!
Mitos pulau-pulau karam yang mereguk biji-biji
darah kabut mendentam bersama guntur.


Karena langit hanya malam, pesta
pesta musim yang tak terpahamkan mengajakku
bercakap dengan diam. Seluruh keheningan
yang mengerikan diledakkan angkasa.
Kegelapan mata malaikat yang terkapar
bersetubuh di dasar bayang-bayang. Seupama
buntal payudaramu yang bengal, ledakan peluru
seratus tahun yang tak terdengar melayang dalam
ketiadaan. Arwahku mistis, melompati jurang
jurang ajal dan kekejaman. Aroma pertempuran
pertempuran yang ganjil sepanjang ingatan jernih,
menghijau di kedalaman akar.


Tapi, segenap ziarah kekal, meski
di pohon-pohon percintaanku yang tak berdaun,
pantai tak lagi berpenghuni selain kesedihanku.
Hujan-hujan hilang arah. Sukmaku berjalan
sendiri di dasar keterpencilan. O kemabukan
kemabukan! Kehendak hewan-hewan buas! Ibu
dari segenap kenangan! Akulah pelancong sunyi itu,
kasihku! Dalamku segala kemilau hilang. Dan esok
apabila seluruh rasa nyeri mulai diletuskan
serupa geludhuk, doa-doaku hancur. Sekali lagi
membangun halimun, hidup sebagai mayat gerhana,
membakar kelamin perdu.


1999-2004.



SENI GRAFIS RESISTENSI SANG SAIFUL

Oleh Indra Tjahyadi


"Dimana ada kekuasaan selalu ada perlawanan"

--Michel Foucault--

Seni harus terlibat dalam gerakan resistensi. Ia haruslah senantiasa memuat kontradiksi masyarakat, memprotes keadaan, memuat pesan utopis-mesianik guna melawan reifikasi total dalam peradaban manusia. Seni, pendeknya, haruslah menampakkan tanggung jawab sosialnya. Sebab ia adalah wahana yang dipakai manusia yang berintelektual untuk melawan setiap proses pendangkalan dan penghancuran masyarakat. Sehingga dalamnya seorang manusia bisa atau dapat bertemu dengan suatu dunia yang tak terdegradasikan, suatu dunia utopia totalitas.


Barangkali hal ini yang ingin disampaikan oleh Saiful Hadjar dalam pameran seni grafisnya yang bertajuk Partisipasi Politik. Pada pameran seni grafisnya yang digelar pada tanggal 28 s/d 31 Maret 2004 lalu di Galeri Surabaya tersebut, keinginan Saiful untuk menempatkan karya-karyanya dalam posisi resistensi terhadap kekacauan dunia yang mengelilingi berusaha benar-benar ditampilkan. Lihat saja karya-karya seni grafisnya dalam pameran tersebut, yang kesemuanya menggunakan tehnik cukil hardboard, yang berjudul Tak Ada Sawah yang Bisa Digarap I dan Tak Ada Sawah yang Bisa Digarap II, atau pada karyanya yang berjudul Rohaniawan di mana digambarkannya orang-orang berpenampilan mirip seorang kyai dan pendeta dengan kepala lebih menyerupai seekor kera sedang memegang uang banyak.

Hal tersebut seakan oleh Saiful untuk memperlihatkan figur ketamakan manusia. Terutama manusia Indonesia. Tak perduli apakah itu seorang yang diulamakan atau orang biasa saja. Hal ini dapatlah dikatakan meripakan keperdulian seorang Saiful Hadjar terhadap dunia beserta ekologi yang melingkarinya. Maka, bukanlah hal yang mengherankan apabila Riadi Ngasiran dalam makalah diskusinya untuk pameran tersebut sampai mengatakan, bahwa seorang Saiful adalah seseorang yang tak henti-hentinya berusaha mengajak memberikan kesadaran pada publik terhadap keadaan yang sedang terjadi di sekitarnya.

Meskipun demikian, seorang Saiful Hadjar tidaklah serta merta demi menyampaikan maksudnya ia rela untuk mengorbankan karya-karya sebagaimana yang dilakukan oleh, sekedar untuk menyebut sebuah nama, Wiji Thukul dalam karya-karya puisinya. Saiful Hadjar pada karya-karya seni grafisnya yang dipamerkan tersebut tetap berusaha mempertahankan nilai estetikanya. Dalam artian, ia tidak terjerumus pada jargon-jargon yang jauh dari wilayah-wilayah nilai artistik. Sebab bagaiamana pun juga, merujuk pada Herbert Marcuse, bahwa estetika adalah sebuah jalan keluar untuk mengatasi krisis masyarakat datu dimensi. Dan lewat seni yang berestetika, merujuk pada Lukacs, seorang seniman, dalam kasus ini Saiful Hadjar, menciptakan kembali totalitas makna yang telang hilang.

Hal ini memperlihatkan, bahwa Saiful Hadjar di satu sisi masih saja tetap berusaha untuk mempertahankan seni sebagai sebuah moment of beauty. Meskipun ia juga, di sisi lain, harus tetap menampilkan dan menjadi suatu moment of truth bagi dunia dan manusianya. Sejalan dengan pikiran Saiful tersebut, Adorno, seorang filsuf mashab frankfrut yang terkenal itu, pernah mengatakan bahwa karya seni akan tetap menyumbang sesuatu kepada kebudayaan masyarakat bila ia tetap mempertahankan kualitasnya. Lihatlah saja karya grafisnya dalam pameran tersebut yang berjudul Tak Sempat Dikubur. Pada karya tersebut, Saiful seakan-akan ingin bermain-main dalam wilayah puitik dan dramatisasi obyek visual. Dengan hanya menampilkan gambar kaki yang digerubuti oleh tikus-tikus, grafis tersebut seakan-akan hadir menyerupai imajinasi sebuah puisi.

Bandingkan saja karya grafis Saiful Hadjar yang berjudul Tak Sempat Dikubur tersebut dengan puisi Kupahat Mayatku di Air karya Kriapur:

kupahat mayatku di air

namaku mengalir

pada batu dasar kali kuberi wajahku

pucat dan beku

di mana-mana ada tanah

ada darah

mataku berjalan di tengah-tangah

mencari mayatku sendiri

yang mengalir

namaku sampai di pantai

ombak membawa namaku

laut menyimpan namaku

semua ada di air

Antara grafis Saiful Hadjar yang berjudul Tak Sempat Dikubur dan puisi karya Kriapur yang berjudul Kupahat Mayatku di Air seakan memunculkan kesamaan nilai puitik dari kedua bentuk manifestasi yang berbeda itu. Kengerian dan kemuraman yang dimunculkan oleh Kriapur lewat puisinya, berbanding, dengan kemuran dan kengerian yang diperlihatkan oleh Saiful lewat karya grafisnya tersebut. Bahkan pada karya grafis Saiful Hadjar tersebut kengerian dan kemuraman yang berusaha diperlihatkan terasa lebih kuat. Pemilihan bentuk monogram membuat karya-karya grafis Saiful tersebut terkesan kuat menampilkan kemuraman.

Barangkali inilah alasan Saiful mengapa memilih monogram dan bukannya full colours dalam karya-karya grafisnya yang dipamerkan di Galeri Surabaya pada tanggal 28 s/d 31 Maret 2004 tersebut. Dengan menggunakan monogram kengerian dan kemuraman suasana yang ingin diperlihatkan oleh Saiful Hadjar kepada publik penikmat grafisnya lebih mungkin untuk sampai. Sebab pilihan monogram tersebut, dalam karya-karya Saiful Hadjar, justru lebih mampu memberikan penyangatan-penyangatan terhadap suasana bentuk visual dari grafis Saiful. Cobalah bayangkan apabila grafis Saiful Hadjar yang berjudul Tak Sempat Dikubur tersebut dengan full colours yang justru akan mengesankan grafis Saiful tersebut tak lebih dari foto biasa. Tak ada usaha dramatisasi. Tak ada nilai puitis dari sebuah bentuk visual.

Inilah kekuatan seni grafis Saiful Hadjar. Di mana tema dan bentuk karya mempunyai kesinambungan yang saling bertalian dan mengikat erat. Sebab bukankah kekuatan seni grafis sendiri ditentukan oleh kekuatan tema dan kesinambungannya dengan bentuk visualitas yang dipilihnya.

Pada akhirnya, merujuk pada Walter Benjamin, meskipun tak ada kebudayaan yang bebas dari barbarisme, seni grafis Saiful Hadjar tetap memperlihatkan kekuatannya sebagai benda estetik dan penyampai kebenaran. Di mana di dalamnya ia tetap dapat dipahami sebagai ruang bebas otonom, tempat manusia bisa berekspresi di tengah segala macam penindasan dan keterkungkungan. Sembari mengabarkan pada dunia, bahwa totalitas utopia itu ada dan harus terus diperjuangkan.

Dan meskipun seni grafis, dapatlah dikatakan, lebih tergolong muda usia dibanding bentuk-bentuk seni lainnya. Karena bagaimana pun juga yang terpenting, merunut pada pendapat Walter Benjamin, yang terpenting dari sebuah karya seni, meskipun ia telah menjadi hasil reproduksi tehnologi, ia tetap dapat berfungsi sebagai alat komunikasi politik. Dalam artian, bahwa ia tidaklah berjarak dengan masyarakat untuk menjalankan fungsi kritisnya. Dan Saiful Hadjar lewat karya-karya dalam pameran seni grafisnya yang berjudul Partisipasi Politik di Galeri Surabaya tanggal 28 s/d 31 Maret 2004 berusaha melakukannya dengan teguh.

***

BIODATA

Indra Tjahyadi. Lahir di Jakarta, 21 Juni 1974. Redaktur Jurnal Sastra ANARKI. Alumnus Faksas Unair. Ketua Biro Sastra Dewan Kesenian Surabaya. Staf pengajar di Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca Marga, Probolinggo. Menulis esai, puisi dan cerpen. Juga aktif menterjemahkan karya-karya sastra berbahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Karya-karyanya termuat di AIAA News (Australia), Bahana (Brunei), Horison, Sastra, Puitika, Jurnal Puisi, Kidung, Kompas, Koran Tempo, Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Suara Karya, Annida, Pikiran Rakyat, Aksara, Suara Merdeka, Santri, Mimbar Pembangunan Agama, Jaya Baya, Surabaya Post, Surabaya News, Penabur, Jurnal LaminSastra, Jawa Pos, Bali Post, Waspada, Lampung Post, Analisa, Pedoman Rakyat, Sriwijaya Post, Memorandum, dan Karya Darma.

Juga di beberapa kumpulan puisi bersama, antara lain: Upacara Menjadi Tanah (Gapus, 1996), Adakah Hujan Lewat Di Situ (Gapus, 1996), Seribu Wajah Lilin (Gapus, 1997), Rumah Yang Kering (FS3LP, 1997), Luka Waktu; Antologi Puisi Penyair Jawa Timur ’98 (Taman Budaya Jawa Timur, 1998), Penunggang Lembu Yang Ganjil (Dewan Kesenian Surabaya, 2000), Gelak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 (Kompas, 2001), Hijau Kelon & Puisi 2002 (Kompas, 2002), Manifesto Surealisme (FS3LP, 2002) dan Permohonan Hijau (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2003).

Pada tahun 1997, kumpulan puisinya yang berjudul Yang Berlari Sepanjang Gerimis memenangkan Juara I Lomba Cipta Puisi Kampus Nasional 1997 yang diadakan oleh UI. Selain itu, juga tercatat sebagai salah satu pemenang pada Sayembara Penulisan Cerpen dan Puisi “Hadiah Tepak” yang diadakah oleh Majalah Sastra dan Budaya Dewan Kesenian Kabupaten Bengkalis.

Puisi-puisinya juga pernah dibacakan di Radio Deutsche Welle. Selain itu juga pernah diundang untuk membacakan puisi-puisinya di Festival Seni Surabaya 2003. Manuskrip kumpulan puisinya yang berjudul Di Bawah Nujum Kabut tercatat sebagai salah satu nominasi penghargaan KSI Award 2003 yang diadakan oleh Yayasan Komunitas Sastra Indonesia. Beberapa puisinya dalam bahasa Inggris termuat di Big Lick Literary Review; a Multicultural Arts Ezine yang diterbitkan di Roanoke, Virginia-USA dan Conestoga Literary Journal.

Tinggal di Jl. Potro Agung II/5, Surabaya 60135. Email: indra_tjahyadi@yahoo.com

Home | Vol 18 Table of Contents | Previous Issues